ARGOTERKINI,COM. PADANG– Maulid bukan sekadar seremoni, tapi momentum untuk menyambungkan kembali semangat reformasi sosial ala Nabi._
Sejarah mencatat, kehadiran Rasulullah صلى الله عليه وسلم merupakan titik balik peradaban manusia. Beliau datang membawa risalah keimanan, yang sekaligus juga membebaskan manusia dari belenggu penghambaan kepada sesama manusia, menuju pengabdian murni hanya kepada Allah. Beliau hadir di tengah masyarakat yang penuh mitos, manipulasi, dan ketidakadilan, lalu mengajarkan akal sehat, keadilan, dan kesetaraan. Inilah revolusi akhlak dan peradaban yang menjadi warisan besar umat Islam.
Namun hari ini kita justru menyaksikan fenomena yang bertolak belakang. Banyak pemimpin yang tampak hidup jauh dari rakyat, represif terhadap kritik, arogan dalam bicara, serta menegakkan hukum dengan standar ganda. Empat karakter ini seolah menjadi wajah kekuasaan, padahal justru bertentangan dengan misi Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم menampilkan kepemimpinan yang sederhana. Beliau menolak privilese, padahal bisa saja hidup mewah. Tidurnya di atas tikar kasar, rumahnya sederhana, dan pakaiannya tidak berlebih. Inilah cara beliau menghapus elitisme dan membangun keadilan sosial. Tidak ada jarak antara beliau dengan rakyat, bahkan para budak yang dibebaskan—seperti Bilal, Syuhaib, dan Salman—duduk sejajar dengan para bangsawan. Prinsipnya jelas: manusia sama di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah takwa. Kontras sekali dengan pejabat hari ini yang bergelimang fasilitas sementara rakyat kecil susah payah mencari sesuap nasi.
Lebih jauh, Rasulullah صلى الله عليه وسلم membangun ruang musyawarah yang hidup. Perang Badar adalah contohnya. Nabi semula memilih posisi pasukan di dekat dataran tertentu. Seorang sahabat, al-Hubab bin Mundhir, dengan penuh hormat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tempat ini pilihan wahyu atau strategi perang?” Nabi menjawab, “Ini hanya strategi.” Maka al-Hubab mengusulkan agar pasukan ditempatkan di dekat sumur, supaya menguasai sumber air. Nabi langsung menerima usulan itu. Begitu pula menjelang perang Uhud. Nabi lebih cenderung bertahan di Madinah, tapi mayoritas sahabat muda mengusulkan agar keluar menyambut musuh di medan terbuka. Nabi mendengarkan mereka, lalu mengikuti pendapat itu, meski berbeda dengan pendapat awal beliau. Inilah kepemimpinan yang benar-benar demokratis: memberi ruang rakyat bicara, mendengar kritik, bahkan mengubah keputusan pribadi demi aspirasi bersama.
Sikap ini sungguh berbeda dengan pejabat hari ini yang sering alergi kritik, bahkan cenderung represif. Padahal kelembutan dan kerendahan hati itulah yang justru membuat Nabi dicintai. Allah sendiri menegaskan dalam al-Qur’an: _“Maka berkat rahmat Allah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu.”_ (QS. Āli ‘Imrān: 159). Tidak ada arogansi dalam kepemimpinan beliau. Nabi tidak pernah membalas cercaan dengan nada tinggi, tapi dengan doa dan kelembutan. Sementara di masa kini, banyak pejabat menanggapi kritik rakyat dengan wajah masam dan kalimat arogan.
Dan yang paling tegas, Rasulullah صلى الله عليه وسلم menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Kisah pencuri wanita dari Bani Makhzūm sangat terkenal. Wanita itu berasal dari suku terpandang, bangsawan Quraisy, sehingga kaum Quraisy merasa malu bila ia dihukum. Mereka mengutus Usāmah bin Zaid—sahabat muda yang sangat dicintai Nabi—untuk meminta keringanan. Tapi Nabi marah besar, wajah beliau memerah, lalu bersabda: _“Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah bila orang mulia mencuri, mereka biarkan; tapi bila orang lemah mencuri, mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya!”_ (HR. Bukhārī dan Muslim).
Ucapan ini bukan sekadar ancaman, tapi standar emas bahwa hukum harus adil, tidak boleh ada diskriminasi. Bandingkan dengan hari ini, ketika koruptor kelas kakap masih bisa tertawa di ruang sidang dan mendapat remisi, sementara rakyat kecil dipenjara hanya karena mencuri makanan untuk mengisi perut keluarganya.
Namun, meski demikian, Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga mengingatkan: kualitas pemimpin adalah cerminan kualitas rakyatnya. _“Sebagaimana keadaan kalian, demikianlah pemimpin yang Allah angkat untuk kalian.”_ (HR. al-Baihaqī). Artinya, kalau rakyat masih doyan pamer gaya hidup, kalau keluarga masih otoriter tanpa musyawarah, kalau masyarakat masih arogan dalam bergaul, dan kalau kita masih membiarkan “main kotor” kecil seperti titip absen, sogokan, atau pilih kasih, jangan heran kalau pemimpin yang lahir pun mewarisi penyakit yang sama.
Solusinya adalah memulai dari diri sendiri dan masyarakat. Bangun kesederhanaan, jangan terjebak budaya _flexing_. Hidupkan solidaritas sosial melalui zakat, sedekah, gotong royong, dan kepedulian pada tetangga miskin. Biasakan musyawarah di rumah, di komunitas, di organisasi, agar kita terbiasa mendengar dan menghargai perbedaan. Latih kerendahan hati: berani meminta maaf kalau salah, mengakui kelemahan, dan memberi ruang orang lain berbicara. Dan jangan lupakan keadilan dari hal terkecil: adil pada anak-anak, adil dalam pembagian hak, adil dalam mengelola amanah sekecil apapun.
Kalau masyarakat berhasil menumbuhkan empat hal ini—kesederhanaan, musyawarah, kerendahan hati, dan keadilan—maka pelan-pelan akan lahir pemimpin yang mencerminkan nilai yang sama. Sebab pemimpin bukan muncul dari ruang kosong, tetapi tumbuh dari rahim masyarakat yang ‘berisi’. Dan ketika masyarakat berbenah diri, Allah akan menghadiahkan pemimpin yang berjiwa adil, rendah hati, penuh kasih sayang, dan benar-benar meneladani Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
penulis :
*Gus Ibad*
_Pimpinan Pesantren Surau Al-Qur’an Padang_
_Pembina Pemuda Masjid Raya SAKHA Sumatera Barat_





















