Salat tarawih yang baik adalah shalat yang lama. Aisyah pernah mengatakan, “Jangan kalian tanya berapa lama shalat Nabi.” Jadi kita tidak perlu mempermasalahkan apakah shalat tarawih yang benar itu 8 atau 20 rakaat. Masing-masing bagus, selama mempertahankan substansi dari shalat malam itu sendiri.
Arti dan Makna
Tarawih artinya secara harfiah adalah ‘beristirahat’, yang mengacu pada istirahat di antara empat rakaat. Kata Tarawih diambil dari bahasa Arab, atau yang biasa disebut Tarweeha, Teraweh, Taraweh, atau Tarwih. Berasal dari bahasa Arab dengan bentuk jamak penulisan dari تَرْوِيْحَةٌ . Tarawih artinya “waktu sesaat untuk istirahat”. Termasuk salat sunnah yang ditunaikan secara khusus pada bulan Ramadan.
Istilah tarawih ternyata tidak dikenal oleh Nabi Muhammad SAW, setidaknya hingga masa Abu Bakar Ash-Shiddiq RA pula. Pasalnya, pada saat itu istilah yang lebih dikenal adalah Qiyamu Ramadhan atau penghidupan atas malam Ramadhan.
Hal ini dapat dibuktikan dari keterangan salah satu hadits tentang syariat salat tarawih yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Beliau menyebutnya dengan kata Qiyamu Ramadhan. Berikut haditsnya,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: “Barangsiapa ber-qiyam Ramadhan (salat tarawih) semata-mata karena keimanan dan keikhlasan kepada Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya sebelum itu,” (HR Bukhari).
Jadi, pada zaman nabi dahulu, ibadah tersebut memang ditujukan untuk menghidupkan malam-malam di bulan Ramadhan. Lalu, dari mana munculnya istilah tarawih tersebut?
Berdasarkan riwayat Imam al Marwadzi dalam Kitab Qiyam Ramadhan yang dikutip dari buku Sejarah Tarawih karya Ahmad Zarkasih, Lc, dikisahkan bahwa suatu ketika sahabat Umar bin Khattab RA pernah memerintahkan Ubaiy untuk menjadi imam pada Qiyamu Ramadhan.
Kemudian, para jamaah tidur di seperempat pertama malam dan mengerjakan salat di dua perempat malam setelahnya. Hingga selesai di seperempat malam terakhir, mereka pun pulang dan sahur.
Dari total 18 rakaat yang mereka kerjakan, Umar bin Khattab memberikan waktu istirahat untuk sekadar berwudhu atau menunaikan hajat mereka tiap 2 rakaat salam. Hal inilah yang membuat ahli tafsir berpendapat sebagai kelahiran istilah tarawih.
Kata tarawih juga dapat dimaknai dengan istirahat sejenak para makmum di setiap selesai 2 rakaat. Imam al Marwadzi mengatakan, dinamakan salat tarawih karena imamnya memberikan banyak tarwiih bagi makmumnya.
Hukum Salat Tarawih
Salat Tarawih sebagai ibadah khusus di bulan Ramadan, hukum melaksanakannya adalah sunnah mu’akkadadah atau salat sunnah yang sangat dianjurkan. Baik bagi laki-laki maupun perempuan. Banyak anjuran yang tertuang dalam hadis mengenai salat tarawih bagi semua umat Islam, termasuk berikut ini:
“Dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anh Rasulullah SAW gemar menghidupkan bulan Ramadan dengan anjuran yang tidak keras. Beliau berkata: “Barangsiapa yang melakukan ibadah (‘Qiyam Ramadan’) di bulan Ramadan hanya karena iman dan mengharapkan ridha dari Allah, maka baginya di ampuni dosa-dosanya yang telah lewat,” (HR Muslim).
Salat Tarawih ini dikerjakan oleh Nabi SAW pada tanggal 23 Ramadhan tahun kedua hijriah. Kala itu Rasulullah SAW mengerjakannya tidak selalu di masjid, melainkan sesekali di rumah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist berikut:
“Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin radliyallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam sholat di masjid, lalu banyak orang sholat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah SAW justru tidak keluar menemui mereka.
Pagi harinya beliau bersabda, ‘Sunguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila sholat ini diwajibkan pada kalian.” Sayyidah ‘Aisyah berkata, ‘Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis tersebut menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melaksanakan salat Tarawih di awal bulan Ramadan. Namun setelah melihat antusiasme para sahabat yang begitu tinggi, Rasul justru mengurungkan niat ke masjid.
Salat Tarawih secara jamaah
Saat ini salat tarawih dilaksanakan secara berjamaah setiap malam Ramadan di masjid dan musalah, lalu bagaimana sejarah pelaksanaan salat tarawih secara berjamaah?
Pertanyaan di atas dapat dijawab melalui penjelasan dalam buku Umar bin Khattab RA karya Abdul Syukur al-Azizi, Buku tersebut menjelaskan bahwa Umar bin Khattab RA disebut-sebut sebagai orang pertama dalam Islam yang mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan salat tarawih berjamaah.
Di zaman nabi dahulu, salat ini lebih cenderung dilakukan secara munfarid atau sendiri-sendiri. Umar bin Khattab RA pun mengeluarkan ijtihad yang disampaikannya kepada seluruh umat Islam. “Ia mengirim surat kepada para gubernur wilayah agar melaksanakan salat tarawih secara berjamaah,” tulis Abdul Syukur al-Azizi.
Shalat tarawih berjamaah di masjid dengan satu imam dilakukan pertama kali pada masa Umar bin Khattab, seperti dikutip dari Mantra Sukabumi di artikel Zaman Rasul Tidak Ada Shalat Tarawih, Berikut Penjelasan Quraish Shihab Tentang Asal Usul Tarawih
Menurut Umar, alangkah baik dan bagusnya bila shalat tarawih dilakukan dalam satu masjid dengan satu imam. Untuk mewujudkan ide ini, Umar menunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imam.
Jumlah Rakaat Tarawih
Terdapat perbedaan sesuai dengan periwayatan yang menyebut jumlah rakaat shalat Tarawih. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra (istri Rasulullah) menyebutkan jika Rasulullah tidak pernah melebihkan rakaat shalat malamnya dari 11 rakaat, baik itu di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan. Awalnya beliau shalat 4 rakaat sekali salam tanpa tahyat awal, dilakukan sebanyak 2 kali salam, lalu ditutup dengan shalat witir 3 rakaat sekali salam. Selanjutnya, Rasulullah melaksanakan shalat malam tetap 8 rakaat tetapi 2 rakaat sekali salam, dan ditutup dengan witir 3 rakaat sekali salam. Berikutnya dalam hadis riwayat Baihaqi, mengatakan di zaman Umar bin Khattab melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat, dan ditutup dengan witir sebanyak 3 rakaat, sehingga berjumlah 23 rakaat.
Berdasarkan dua riwayat di atas dapat diketahui, bahwa ulama dan kaum muslimin yang melakanakan shalat tarawih sebanyak 8 rakaat adalah mengikuti sebagaimana yang disampaikan oleh Aisyah ra. Mereka berpegang teguh pada kemurnian yang dilakukan Rasulullah. Mereka berpendapat jika dalam masalah shalat tidak boleh dilakukan penambahan ataupun pengurangan, karena umatnya disuruh untuk shalat sebagaimana shalatnya Nabi, meskipun Nabi menyuruh memperbanyak amalan di bulan Ramadhan, yang dimaksud adalah memperbanyak amalan yang memang ada dicontohkan Rasulullah.
Sedangkan shalat Tarawih 20 rakaat adalah mengikuti yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab. Setidaknya ada tiga alasan, yaitu: pertama karena Rasulullah menyuruh memperbanyak amalan di bulan Ramadhan; kedua, hadis itu disampaikan oleh Aisyah ra salah satu istri Nabi, sementara Nabi juga pernah melakukannya di rumah istri-istri lain yang tidak diketahui Aisyah berapa rakaat shalat tarawih yang dilakukan Rasulullah (pendapat ini bersumber dari imam yang empat); ketiga, Rasulullah pernah menyuruh untuk mengikuti dua khalifah setelahnya, berarti termasuk Umar bin Khattab salah satunya.
Sementara, ada juga pendapat Imam Malik dalam al-Madawwanah al-Kubra (berisi berbagai pandangan Imam Malik mengenai masalah-masalah fiqh), lebih cenderung memilih rakaat shalat tarawih sebanyak 36 rakaat, ini sempat menjadi amalan penduduk Madinah. Terdapat juga dalam riwayat Imam at-Tarmizi, jika sebagian ulama ada yang membolehkan sampai 41 rakaat termasuk witir. Itulah sebabnya, ulama-ulama dari mazhab Maliki menganggap jika rakaat shalat Tarawih tidak ada batasnya, artinya boleh dilaksanakan 8 atau 20 atau 36 bahkan 41 rakaat.
Permasalahan rakaat shalat tarawih ini termasuk khilafiah (perpebadaan pendapat dalam menentukan hukum), maka hendaknya kaum muslim tidak mempermasalahkan ketika ditemui di negara-negara Islam sekarang ini lebih banyak di dapati melakanakan shalat tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat, karena semuanya memiliki dasar yang kuat.
Dari sejarah dan makna tarawih ini, kita bisa memahami bahwa Nabi Muhammad, Sahabat, dan ulama terdahulu, melakukan shalat malam dalam waktu yang lama. Ini menunjukkan keseriusan mereka dalam mendirikan malam Ramadan. Saking lama dan melelahkan, mereka istirahat setelah dua atau empat rakaat.
(Penulis : H. Abdul Wahid, S.Ag., M.I.Kom, Ka Subbag Tata Usaha Kemenag Kota Pekanbaru).