Pemerintah akhirnya memutuskan untuk membatasi transaksi perdagangan melalui platform media sosial dengan melakukan revisi terhadap Permendag No 50/2020. Revisi ini dilakukan sebagai respon dari maraknya transaksi perdagangan di Tik Tok Shop yang belum memiliki ijin sebagai platform e commerce.
Secara umum ada 4 hal yang diatur terkait dengan penggunaan media sosial dalam perdagangan.
Pertama, media sosial hanya diperkenankan sebagai media promosi produk. Tidak boleh lagi ada transaksi langsung melalui media sosial.
Kedua, platform media sosial harus memiliki ijin untuk menjadi e-commerce. Dalam hal ini Tik Tok harus segera mendapatkan ijin untuk menjadi platform e-commerce.
Ketiga, membatasi produk impor yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Hal ini didasari fakta bahwa banyak sekali produk UMKM yang ditiru oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok dengan cepat dan harga yang lebih murah.
Keempat, produk impor harus mematuhi standar yang sama dengan produk lokal, misalnya mereka harus memiliki SNI atau jika produk makanan harus memiliki sertifikat halal.
Kelima, social commerce tidak boleh berperan ganda sebagai produsen. Keunggulan mereka yang menguasai data algoritma konsumen bisa menyebabkan mereka menjadi monopolist dalam perdagangan produk tertentu. Keenam,transaksi produk impor hanya boleh dilakukan satu kali dengan minimal transaksi senilai US$ 100 atau Rp 1,5 juta.
Pembatasan Tik Tok secara khusus ini memang terkait dengan penetrasi aplikasi ini diberbagai negara yang dianggap mengganggu perekonomian lokal.
Negara-negara yang sudah memblokir tiktok antara lain: Taiwan, Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Latvia, Denmark, Belgia, Inggris, Selandia Baru, Australia, Estonia, Perancis, Belanda, Norwegia, Pakistan, Afghanistan dan Jepang.
Ada banyak alasan mengapa negara-negara tersebut memblokir aplikasi ini. Alasan-alasan itu antara lain ancaman spionase, kejahatan siber sampai dengan mengganggu perekonomian lokal. Hal ini didasari dari fakta bahwa perusahaan pengembang aplikasi tiktok yaitu ByteDance.Ltd mempunyai kedekatan dengan pemerintah Tiongkok.
Mematikan UMKM
Indonesia mempunyai alasan sedikit berbeda terkait dengan pembatasan media sosial tiktok. Asosiasi UMKM terutama yang bergerak di bidang ritel, fesyen, handycraft dan manufaktur mengeluhkan penurunan bisnis mereka.
Beberapa UMKM ritel yang ada di Tanah Abang Jakarta bahkan sudah menutup bisnisnya. Pertanyaannya apakah penurunan volume penjualan UMKM ini disebabkan oleh aplikasi tik tok?
Keluhan utama dari masuknya produk dari Tiongkok ke Indonesia dan juga negara-negara lain adalah persaingan harga. Produk-produk dari Negara Tirai Bambu ini dijual dengan harga sangat murah. Sebagai contoh, produk-produk impor sepatu yang dijual di TikTok Shop harganya sangat murah, beberapa dijual dengan harga Rp 20.000. Banyak produk fesyen impor yang dijual dengan harga dibawah Rp 100.000.
Beberapa produk UMKM lokal yang laku dijual di platform social commerce hanya dalam hitungan bulan sudah ditiru oleh produsen Tiongkok dan dijual dengan harga yang lebih murah. Hal ini bisa dilakukan karena mereka memanfaatkan algoritma sehingga informasi penjualan bisa digunakan dengan efektif.
Berdasarkan kondisi diatas, maka ada masalah lain yang sebenarnya lebih serius terkait dengan penetrasi TikTok di pasar ritel Indonesia.
Kondisi itu adalah produk UMKM lokal kalah efisien dalam produksinya sehingga harganya menjadi lebih mahal.
Mengapa UMKM Indonesia tidak mampu berproduksi secara efisien? Hal ini sebenarnya sudah menjadi perhatian pelaku bisnis UMKM, pemerintah dan perguruan tinggi, namun demikian tidak mudah mencari solusi permasalahan ini.
Ada dua faktor terkait dengan solusi efisiensi proses produksi UMKM Indonesia.
Pertama, aspek internal yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan manajerial dan produksi UMKM. UMKM Indonesia mempunyai keterbatasan sumber daya baik teknologi, SDM, permodalan dan keuangan serta pemasaran.
Faktor-faktor ini yang saat ini menjadi perhatian pemerintah dan perguruan tinggi untuk melakukan asistensi dan pendampingan dalam rangka meningkatkan kapasitas UMKM nasional.
Kedua, aspek eksternal yaitu faktor-faktor yang terkait dengan perlindungan terhadap UMKM dengan berbagai regulasi dari pemerintah. Kebijakan revisi terhadap Permendag No. 50/2020 ini adalah salah satu usaha untuk melindungi UMKM dari dampak buruk liberalisasi perdagangan. UMKM juga perlu mendapatkan perlindungan terkait dengan tata kelola perdagangan di dalam negeri serta praktek ekonomi biaya tinggi.
Social Commerce dan E Commerce
Digitalisasi bisnis ternyata juga mempunyai dampak negatif pada saat perusahaan yang bersaing di dalam industri mempunyai kesenjangan sumber daya.
Dalam konteks penggunaan social commerce dalam transaksi perdagangan, maka ada resiko eksploitasi penggunaan algoritma barang yang laku oleh social commerce bersangkutan.
TikTok Shop memberikan respon terhadap kebijakan pembatasan ini dengan menerima kebijakan tersebut. Namun mereka juga meminta agar pemerintah memperhatikan nasib 6 juta pengguna lokal yang mendapatkan keuntungan dari aplikasi ini. Harus diakui di media sosial TikTok banyak juga UMKM yang menjadi reseller dari produk-produk impor dari Tiongkok dan mendapatkan keuntungan dari aplikasi ini.
Namun demikian, kepentingan utama untuk melindungi UMKM lokal harus dilanjutkan. Pebisnis lokal harus memperkuat diri dan menggunakan platform e commerce yang benar sehingga keberlanjutan bisnis mereka bisa terjaga.