Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Oleh karenanya pemerintah kemudian mengesahkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja.
Ada banyak hal yang dirubah dalam Undang-undang tersesbut, termasuk Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Beberapa perubahan signifikan dalam norma ketenagakerjaan, diantaranya adalah aturan PKWT, alih daya, penggunaan TKA, mekanisme PHK, hingga sanksi administratif dan pidana.
Walaupun Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 telah berlaku, namun Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja yang diundangkan pada Tanggal 2 Februari 2021 sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja masih dinyatakan berlaku karena peraturan pemerintah yang baru sebagai pelaksana dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 belum ada.
Penulis mengamati ada satu hal yang menarik didalam PP Nomor 35 Tahun 2021 tersebut, yakni adanya Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan mendesak, yang sebelumnya tidak dikenal di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikenal Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan oleh pekerja / buruh melakukan kesalahan berat yang diatur di dalam Pasal 158.
Ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan tersebut mengatur tentang Pemutusan Hubungan Kerja karena kesalahan berat sebagai berikut :
Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan ;
Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya dilingkungan kerja ;
Melakukan perbuatan asusila atau perjudian dilingkungan kerja;
Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha dilingkungan kerja;
Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan ;
Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja ;
Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara;
atau
Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Alasan kesalahan berat pada pokoknya mengatur tentang perbuatan pidana yang telah diatur dalam KUHP sehingga untuk menyatakan pekerja telah melakukan kesalahan berat haruslah atas dasar pekerja tertangkap tangan, ada pengakuan pekerja yang bersangkutan atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang, di perusahaan yang bersangkutan, dengan didukung oleh dua orang saksi.
Ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan ini kemudian dianulir oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, yang amar putusannya pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan melanggar asas praduga tidak bersalah/preassumtion of innocence dan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam pelaksanaannya pasca putusan MK tersebut, menimbulkan banyak penafsiran, sehingga munculah Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januri 2005.
Dalam surat tersebut mengatur penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat harus memperhatikan dua hal.
Yakni, PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
Lain halnya dengan Mahkamah Agung, menyikapi putusan MK tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA Nomor 3 Tahun 2015.
SEMA ini memberikan pedoman dalam hal terjadi PHK terhadap pekerja/buruh karena alasan melakukan kesalahan berat sebagaimana dimaksud Pasal 158 UU Ketenagakerjaan pasca Putusan MK Nomor 012/PUU-I/2003, maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap.
Hal ini berarti jika pekerja melakukan kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, maka pengusaha dapat melakukan PHK tanpa harus menunggu sidang pidananya terlebih dahulu.
Kemudian UU Cipta Kerja menghapus ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, namun didalam Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 pasal 52 ayat (2) muncul istilah baru yakni pengusaha dapat melakukan PHK karena alasan pekerja/buruh melakukan pelanggaran yang bersifat mendesak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut berhak atas uang penggantian hak dan uang pisah.
Dalam penjelasan Pasal 52 ayat (2) PP Nomor 35 Tahun 2021 tersebut dijelaskan pelanggaran bersifat mendesak yang dapat diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama sehingga pengusaha dapat langsung memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh, misalnya dalam hal :
Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan
Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya dilingkungan kerja;
Melakukan perbuatan asusila atau perjudian dilingkungan kerja;
Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha dilingkungan kerja;
Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja ;
Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara; atau
Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Bukankah hal tersebut sama dengan ketentuan eks Pasal 158 UU Ketenagakerjaan yang oleh Putusan MK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah pula dicabut oleh UU Cipta Kerja, kenapa muncul lagi di PP Nomor 35 Tahun 2021?
Bukankah dengan demikian sama saja dengan menghidupkan kembali norma eks Pasal 158 UU Ketenagakerjaan tersebut?
Jadi dengan demikian, bukankah sama saja PHK karena alasan kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam eks Pasal 158 UU Ketenagakerjaan dengan PHK karena alasan pelanggaran bersifat mendesak sebagaimana dimaksud Pasal 52 ayat (2) PP Nomor 35 Tahun 2021?. Inilah yang penulis maksud dengan BATUKA BARUAK JO CIGAK.
Penulis : Hakim Pengadilan Negeri Bengkulu Kelas IA