Argoterkini.com,Jakarta – Pertemuan makan malam antara Presiden Jokowi dengan calon presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto, mengundang reaksi dari pihak-pihak yang berkontestasi pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Jokowi dituding bersikap tidak netral dan berpihak kepada salah satu capres.
Pada kenyataannya, isu keberpihakan Jokowi sudah lama bergaung, terutama sejak Jokowi disebut-sebut melakukan cawe-cawe soal Pilpres.
Pada pertengahan 2023 lalu Jokowi bahkan secara terang-terangan mengaku bakal turut campur demi kepentingan bangsa dan negara.
Jika ditarik mundur pada 2022, Jokowi ditengarai memberikan endorsement kepada sejumlah nama yang berpotensi menjadi capres-cawapres.
Di antaranya yang cukup menguat adalah gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Waktu itu sejumlah partai politik dari kubu pemerintah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang diyakini sebagai kendaraan politik bagi Ganjar-Erick.
Jika Ganjar tidak kunjung mendapatkan tiket capres dari PDIP, maka KIB bisa menjadi sekoci untuk maju nyapres dari partai lain.
Nyatanya, PDIP kemudian mempercepat deklarasi pencapresan Ganjar pada April 2023, setelah elektabilitas keduanya melorot akibat penolakan timnas Israel pada Piala Dunia U20. Jokowi kemudian mengalihkan dukungan kepada Prabowo Subianto.
Sosok Menteri Pertahanan yang sebelumnya rival dua kali Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019 itu lalu menggandeng putera sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Sempat terkendala syarat usia, Gibran yang meniti jejak Jokowi sebagai walikota Solo itu maju berpasangan dengan Prabowo.
Pasangan Prabowo-Gibran secara blak-blakan menyatakan bakal melanjutkan program Jokowi, sementara pasangan yang lain mendorong perubahan atau berada di tengah-tengah.
Sementara itu aspirasi publik nyata-nyata lebih mendukung wacana keberlanjutan alih-alih perubahan.
Temuan survei yang dilakukan Jakarta Research Center (JRC) menunjukkan tingkat kepuasan publik yang sangat tinggi terhadap Presiden Jokowi, hingga mencapai 80,2 persen.
Di antaranya bahkan ada 10,6 persen yang menyatakan sangat puas dipimpin oleh Jokowi.
Hanya 17,2 persen yang merasa tidak puas terhadap Jokowi, di antaranya 3,0 persen menyatakan tidak puas sama sekali.
Sangat jomplang jika dibandingkan dengan mereka yang merasa cukup puas maupun sangat puas. Sisanya 2,6 persen menyatakant tidak tahu/tidak jawab.
Tingginya tingkat kepuasan mengindikasikan publik ingin program-program Jokowi dapat dilanjutkan oleh kepemimpinan nasional berikutnya yang bakal menggantikan Jokowi.
Artinya, pasangan capres-cawapres yang condong pada keberlanjutan berpeluang kuat bakal didukung mayoritas pemilih.
Berbeda dari presiden sebelum-sebelumnya, keberpihakan Jokowi pada Pilpres 2024 dilatari pada laju pembangunan yang tidak cukup jika mengacu pada batasan periodisasi dalam konstitusi.
Indonesia tengah bergerak pada arah yang tepat untuk mencapai visi menjadi negara maju.
Kesalahan dalam mencetak kepemimpinan nasional selanjutnya bisa berdampak serius terhadap gerak maju bangsa.
Apakah Indonesia akan berjalan sesuai jalur, atau bahkan ada percepatan, melangkah ragu-ragu, bahkan bisa jadi berbalik mundur, sangat ditentukan pada Pilpres kali ini.
“Tingginya approval rating terhadap Presiden Jokowi yang mencapai 80,2 persen menunjukkan bahwa keberpihakan Jokowi menjadi faktor penentu terhadap kemenangan pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2024,” kata Direktur Komunikasi JRC Alfian P di Jakarta pada Senin 8 Januari 2024.
Menurut Alfian, faktor keberpihakan Jokowi terbukti berpengaruh jika melihat tingginya elektabilitas Prabowo-Gibran dibandingkan kedua pasangan capres-cawapres yang lain.
“Bahkan sangat besar peluangnya untuk Prabowo-Gibran bisa memenangkan Pilpres dalam satu putaran,” tandas Alfian.
Posisi Prabowo-Gibran yang sangat mendukung wacana keberlanjutan ditegaskan pada sesi debat capres maupun cawapres yang telah diselenggarakan oleh KPU.
“Prabowo lebih tampak sebagai petahana yang sangat membela kebijakan Jokowi dari serangan capres lainnya,” tegas Alfian.
Hal serupa sulit dilakukan oleh pasangan Ganjar-Mahfud yang terkesan ambigu.
“Pada satu sisi Ganjar mengklaim bakal melanjutkan program Jokowi, tetapi di sisi lain juga gencar melancarkan serangan dan kritik terhadap apa yang telah dilakukan oleh Jokowi,” jelas Alfian.
Posisi lebih mudah diambil oleh pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang jelas-jelas menggaungkan wacana perubahan.
“Hanya saja Anies-Muhaimin cenderung melawan arus utama publik yang justru menginginkan keberlanjutan, bukannya perubahan,” terang Alfian.
Hasilnya, meskipun elektabilitas Anies-Muhaimin cukup tinggi hingga menggeser Ganjar-Mahfud, tetapi ada batas dukungan publik yang sulit ditembus.
“Anies-Muhaimin akan sangat mengandalkan suara ketidakpuasan terhadap Jokowi yang persentasenya minoritas,” pungkas Alfian.
Survei Jakarta Research Center (JRC) dilakukan pada 26-31 Desember 2023, secara tatap muka kepada 1200 responden mewakili seluruh provinsi di Indonesia.
Metode survei adalah multistage random sampling, dengan margin of error ±2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen.***
Editor : Mulyadi
Sumber : Warta Ekonomi